Panyabungan – Kamis, 17 Juli 2025. Dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia kontemporer, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. menempati posisi istimewa sebagai intelektual, ulama, sekaligus negarawan yang mampu merajut jembatan antara warisan tradisi dan dinamika inovasi. Gagasan-gagasan beliau tentang Eko-Teologi, Kurikulum Cinta, dan Green Religion tidak sekadar berhenti sebagai wacana teoritis, melainkan telah bertransformasi menjadi gerakan sosial keagamaan yang hidup, relevan, dan memberi dampak nyata bagi masyarakat.
Eko-Teologi: Islam dan Kesadaran Ekologis
Bagi Nasaruddin Umar, hubungan manusia dengan alam tak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual. Eko-Teologi lahir dari kesadaran bahwa Al-Qur’an tak sekadar berbicara tentang hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi juga tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi sebagai amanah Tuhan. Kerusakan ekologi, dalam pandangannya, adalah buah dari keterputusan batin manusia dengan alam.
Ia mengajak umat Islam kembali menafsirkan ayat-ayat Qur’an tentang mizan (keseimbangan), fasad (kerusakan), dan khalifah (kepemimpinan) dalam konteks krisis lingkungan global hari ini. Eko-Teologi menjadi bagian dari jihad intelektual: bukan melawan manusia lain, melainkan melawan keserakahan yang merusak bumi.
Kurikulum Cinta: Islam yang Menyentuh Hati
Melalui gagasan Kurikulum Cinta, Nasaruddin Umar hendak menegaskan bahwa jihad intelektual umat Islam hari ini adalah jihad yang memuliakan akal sekaligus menyejukkan hati. Pendidikan agama, khususnya di madrasah, pesantren, dan lembaga-lembaga keislaman lainnya, tidak cukup hanya melahirkan insan-insan cerdas secara kognitif, tetapi juga harus menanamkan karakter hati yang lembut, jiwa yang lapang, dan pandangan hidup yang penuh kasih kepada sesama. Pendidikan agama seharusnya tidak berakhir pada penghafalan teks dan penguatan doktrin, tetapi bergerak lebih jauh menumbuhkan sensitivitas sosial, empati, dan keterbukaan atas keragaman.
Bagi Nasaruddin Umar, Islam sejatinya adalah agama cinta. Inti dari ajaran Islam, sebagaimana diwariskan para tokoh besar spiritualitas Islam seperti Al-Ghazali, Rumi, dan Ibnu Arabi, berpijak pada mahabbah (cinta), rahmah (kasih sayang), dan suluk (penempuhan akhlak mulia) sebagai laku hidup. Cinta, dalam kerangka ini, bukan semata dimaknai sebagai rasa emosional antarindividu, melainkan sebagai energi spiritual yang melahirkan welas asih, toleransi, penghormatan atas perbedaan, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Green Religion: Islam Sebagai Gerakan Perubahan Global
Pemikiran Green Religion yang digagas oleh Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. lahir dari kepekaan spiritual yang mendalam terhadap krisis ekologis yang melanda dunia saat ini. Di tengah berbagai bencana alam, kerusakan lingkungan, dan degradasi ekosistem yang semakin mengkhawatirkan, Nasaruddin Umar menghadirkan gagasan ini sebagai upaya menegaskan kembali relevansi ajaran agama dalam merespons tantangan kemanusiaan yang bersifat ekologis.
Dalam kerangka pemikirannya, Green Religion bukanlah sekadar upaya hijau-hijauan atau sekadar simbol perlawanan terhadap kerusakan lingkungan. Lebih jauh dari itu, gagasan ini menempatkan agama, khususnya Islam, sebagai kekuatan moral dan spiritual yang mengajarkan keseimbangan (mizan), harmoni, dan keberlanjutan. Dalam Al-Qur’an, nasaruddin Umar menemukan banyak sekali isyarat ekologis yang menegaskan pentingnya merawat bumi sebagai amanah ilahi. Setiap unsur alam, mulai dari air, tanah, udara, hingga hewan, adalah bagian dari jaringan kehidupan yang memiliki hak untuk dihormati dan dijaga.
Beliau menafsirkan bahwa ibadah-ibadah pokok dalam Islam, seperti puasa, zakat, dan haji, sesungguhnya memiliki dimensi ekologis yang kuat. Puasa mengajarkan pengendalian diri, kesederhanaan, dan penghematan sumber daya; zakat menanamkan nilai kepedulian sosial dan distribusi kekayaan yang adil, termasuk sumber daya alam; haji mengajarkan keterbatasan manusia di hadapan alam semesta dan keharusan hidup harmonis bersama sesama makhluk.
Pemikiran Menteri Agama tentang eko-teologi, kurikulum cinta, dan green religion menjadi penanda bahwa jihad intelektual hari ini semakin luas dimensinya: bukan hanya soal ilmu, tapi juga soal tanggung jawab sosial, ekologi, dan masa depan kemanusiaan. STAIN Mandailing Natal siap mengambil peran strategis dalam mewujudkan jihad intelektual tersebut demi terciptanya masyarakat yang berilmu, beradab, dan peduli terhadap kelestarian bumi.
Ayo semangat! STAIN Madina menuju IAIN.(Tim Humas)